Putri Kecil dan Mimpi Besarnya
Menjadi seorang putri selalu menjadi mimpiku sejak kecil: memakai baju yang indah, tinggal di istana, mengendarai kereta kencana, dan akhirnya menikahi pangeran dan menjadi ratu dengan akhir cerita yang semua orang bisa tebak, “happily ever after”.
Terlahir di sebuah keluarga kaya raya menjadikanku tidak terlalu “menghayal” untuk menjadi putri. Sebut apapun yang kau inginkan saat kecil, aku pasti pernah mendapatkannya. Gaun yang indah setiap ulang tahun, rumah yang besar dan megah bak istana, mobil yang berderet dengan seri yang bahkan belum kau temukan di Indonesia, dan lingkungan pertemanan elit penuh dengan pangeran dan putri dari perusahaan-perusahaan terbesar Indonesia.
Sayangnya aku lupa bahwa bahkan dalam setiap dongeng, seorang putri tetap harus mengalami masa-masa yang sulit. Cinderella harus tinggal bersama kakak dan ibu tirinya yang jahat sebelum bisa menginjakan kaki di Istana dan mengendarai kereta kencana, Sleeping Beauty yang harus menjalani kutukan dan menanti sebelum menemukan cinta sejatinya, dan Elsa yang harus menjalani penolakan sebelum akhirnya menjadi seorang ratu. Sampai masa sulit itu datang menghampiri diriku.
Tahun 2012 adalah saat dimana aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada semua mimpi dan harapanku menjadi seorang putri. Semua harta yang keluargaku miliki hilang hanya dengan satu kunjungan dari seseorang pria berbadan besar dan berpakaian hitam, yang bahkan aku tidak tahu siapa. Sejak saat itu, setiap hari rasanya seperti neraka.
Aku yang masih berumur tujuh tahun dan terbiasa dengan pelayanan bak putri raja dan tidak tahu apa-apa, tiba-tiba harus dihadapkan dengan realita bahwa bahkan besok makan apa pun kami sekeluarga tidak tahu. Harta yang kini kami miliki hanya sebuah rumah dan mobil kap terbuka yang kini dipakai untuk mengantar-jemputku ke sekolah setiap hari. Duh, bisa bayangkan rasanya? Saat teman-temanku diantar menggunakan mobil Jaguar, Ferrari, dan mobil-mobil mewah lainnya, aku harus datang ke sekolah dengan sebuah mobil kap terbuka kumuh dan berhimpitan dengan adikku di kursi yang hanya tersisa satu itu. Kehidupan yang mulanya damai itupun berubah, orang tuaku bertengkar setiap hari hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah. Akibat dari perceraian itu, akupun harus ikut Mama pindah ke sebuah kos-kosan dan bersekolah di sekolah negeri, sekolah yang dulu aku selalu rendahkan dengan kalimat “kok bisa ya orang-orang pake baju gitu ke sekolah?”.
Realita kehidupan yang kualami seringkali membuatku berfikir bahwa mimpi dan harapan hanya dapat dimiliki oleh mereka yang disebut “privileged kids”. Apalagi kalau aku sudah melihat keluarga di pinggir jalan yang harus tinggal di gerobak. Rasanya boro-boro bermimpi, berharap untuk makan malam hari ini pun sulit, persis seperti yang aku rasakan bertahun-tahun lalu.
Namun, cara pandangku terhadap dunia berubah ketika aku melihat seorang anak penjual keresek di Alun-Alun Bandung yang bahagia ketika mendapatkan jualannya dibeli orang dengan harga Rp5.000, sebuah angka yang mungkin menurut kita kecil. Saat kutanya mengapa kamu sangat bahagia, ia menjawab “iya Teh, Rp5.000 juga udah bisa buat bantu-bantu Mama. Terus, kalau Rp5.000nya ada banyak kata Mama, Dian bisa sekolah!”
Terkadang, hal yang menurut kita kecil adalah hal yang diimpi-impikan oleh orang lain.

Dulu, aku enggan untuk masuk ke sekolah negeri dan seringkali merendahkannya. Padahal, menginjakkan kaki di gedung sekolah adalah mimpi yang besar untuk anak-anak ini. Jangankan untuk mengendarai kereta kencana seperti yang dulu aku impikan, duduk di sebuah taksi pun sudah menjadi sebuah kemewahan bak putri bagi mereka.
Saat itu aku tersadar bahwa tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk bermimpi. Seperti kata bapak proklamator kita, “bermimpilah setinggi langit agar jika engkau jatuh, engkau jatuh di antara bintang-bintang.”
Hal ini tidak mengubah cara pandangku bahwa mimpi dan harapan hanya dapat dimiliki oleh mereka yang disebut “privileged kids”. Namun, ini merubah perspektifku mengenai anak-anak dengan hak istimewa ini. Privileged kids tidak serta-merta berarti anak-anak yang memiliki banyak uang dengan orang tua berjabatan tinggi. Sadarkah kita bahwa bahkan seorang anak dari tukang parkir juga memiliki hak istimewa untuk tidak membayar parkir di tempat ayahnya bekerja (sebuah hak yang sangat istimewa bagi beberapa orang, hehe).
Pengalaman ini juga membuatku memiliki sebuah mimpi yang besar, yang kujadikan dasar dari segala yang aku lakukan sekarang:
Aku ingin mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi jika aku terlalu kecil untuk mengubah dunia, aku ingin mengubah setidaknya dunia seseorang.